Kamis, 10 April 2014

Pembagian Kaidah-Kaidah Fiqh



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada umumnya, pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh imam madzahib tanpa diperselisihkan kekuatannya. Adapun jumlah kaidah asasiah hanya 5 macam (panca kaidah) yaitu (1) Segala masalah tergantung pada tujuannya. (2) Kemadlorotan itu harus dihilangkan. (3) Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. (4) Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. (5) Kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Panca kaidah asasiah ini semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili. Dengan kaidah-kaidah asasiah ini kami akan mencoba memaparkan lebih lanjut apa sebenarnya kaidah asasiah itu.[1]

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kedudukan kaidah fiqh?
2.      Apa saja pembagian kaidah fiqh dari segi fungsi?
3.      Apa saja pembagian kaidah fiqh dari segi mustasnayat?
4.      Apa saja pembagian kaidah fiqh dari segi kualitas?

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui kedudukan kaidah fiqh
2.      Mengetahui pembagian kaidsah fiqh dari segi fungsi
3.      Mengetahui pembagian kaidsah fiqh dari segi mustasnayat
4.      Mengetahui pembagian kaidsah fiqh dari segi kualitas


BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan Kaidah Fiqh
Kedudukan kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri. Yang dimaksud dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.[2]
1.)      Kaidah Fiqh Sebagai Dalil Pelengkap
Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang kebolehan menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
Contoh penggunaan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap yaitu Keputusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 6/1987 tanggal 20 Pebruari 1987 tentang izin poligami.[3] Dalam keputusan tersebut, hakim yang memutuskan perkara menjadikan Al-Qur’an dan kaidah fiqh sebagai dasar pertimbangan hukum. Ayat Al-Qur’an yang dijadikan alasan adalah firman Allah: An-Nisa ayat 3
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Adapun kaidah fiqh yang digunakan, diambil dari kitab Hasiyat al-Bajuri (j.III, hlm.366):
 اذا كان عندالرجل امر اتان فلم يعدل بينهماجاءيوم القيا مة وشقه ما ئل اوسا قط و قد كان صلى الله عليه و سلمم فى غا ية منالعدل فى القسم
 “Apabila seorang laki-laki mempunyai dua orang istri dan ia tidak berlaku adil terhadap keduanya, pada hari kiamat nanti ia akan dibangkitkan dalam keadaan miring lambungnya atau tidak berlambung, dan Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling adil dalam menentukan bagian (gilir terhadap para istrinya).”
2.)      Kaidah Fiqh Sebagai Dalil Mandiri
Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri. Pendapat ini didasarkan pada aspek penyandaran. Kaidah fiqh adalah cara untuk mempermudah dalam memahami beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang dicakupnya. Begitu pula berdalil dengan satu kaidah fiqh bearti telah berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Sunah yang tercakup dalam kaidah tersebut.
Al-Hamawi menolak pendapat Imam al-Haramayn al-Juwayni. Menurut al-Hamawi, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Lebih lanjut al-Hamawi mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnyaaglabiyat atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian (al-mustasnayat). Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih baik.[4]
Pembagian Kaidah Fiqh
Kaidah fiqh dapat dibedakan dari tiga segi yaitu fungsi, mustasnayat dan kualitas.
1.        Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
العَادَةُمُحَكَّمُةٌ
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ التِجَارِكَمَالِمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”

التَّعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَمَالتَّعْيِيْنُ بِالنَّصِ
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.[5]
2.        Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
الْبَيِّنَةُعَلَى الْمُدَّعِيْ وَاْليَمِيْنُ عَلَى مَنْ اَنْكَرَ
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.[6]
3.      Segi kualitas
Dari segi kualitas kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
a.              Kaidah kunci, kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِمُقَدِّمُ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ  
“Menolak kemafsadatan  didahulukan daripada meraih kemaslahatan”.
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.[7]
b.        Kaidah asasi, adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam.
Kaidah fiqh tersebut adalah:[8]
1.      Kaidah Asasi Pertama
الْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“setiap perkara tergantung pada niatnya.”
Al-Jauhari berpendapat bahwa ungkapan نَوَيْتُ     mempunyai kesamaan arti, yaitu aku berniat. Niat sendiri berarti kesengajaan atau maksud (al-qashad), sebab ia merupakan pecahan kata dari verba نَوَى الشَّيْءُ يَنْوِيْهِ       yang bermkna “sengaja melakukan sesuatu yang diyakininya.”[9]
Niat dikalangan ulam-ulama Syafi’iyah diartikan dengan: bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Di dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram. Di kalangan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati.[10]
Fungsi niat:
a.       Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
b.      Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
c.       Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.[11]

2.      Kaidah Asasi Kedua

اْليَقِيْنُ لاَيَزَالُ بِالشَّكِّ
“keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan.”
Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktif, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia keluar masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti telah batal wudhunya). (H.R. Muslim)[12]
3.      Kaidah Asasi Ketiga
الْمَشَقَّةُتَجْلِبُ التَّيْسِرَ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
المَشَقَّةُ  menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. Sedangkan التَيْسِيْرُ secara etimologis berarti kemudahan. Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.[13]

4.      Kaidah Asasi Keempat
الضَرَرُيُزَالُ
"Kemudaratan harus dihilangkan.”
Kaidah tersebut diatas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh kaidah di atas:
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana islam) adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan.
- Adanya aturan al-hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan.demikian pula aturan hak syuf’ah.[14]

5. Kaidah Asasi Kelima
الْعَادَةُمُحْكَمَة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Al-Adah didefinisikan apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.[15]

c.         Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ”majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.[16]
d.        Kaidah fiqh yang di-ikhtilaf-kan di Kalangan Sunni
Kaidah ada yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh mazhab yang lain. Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Menurut Hanafiyah, sewa dan pembayaran kerusakan tidak pernah dapat disatukan, masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu Hanafiyah mengatakan bahwa:
 الاجر و الضمان لايجتمعان
“Sewa dan pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan.”
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa antara upah dan penggantian kerusakan dapat digabungkan. Karena pendapatnya demikian, ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa:
الاجر و الضمان يجتمعان
“Sewa dan penggantian kerusakan (dapat) digabungkan.”[17]


BAB III
KESIMPULAN

Kedudukan kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri. Yang dimaksud dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
Kaidah fiqh dapat dibedakan dari tiga segi yaitu fungsi, mustasnayat dan kualitas. Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Dari sumber mustasnayat, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Dari segi kualitas yaitu kaidah kunci, kaidah asasi, kaidah fiqh yang diterima leh semua aliran hukum suni, kaidah fiqh yang di-ikhtilaf-kan di Kalangan Sunni.


DAFTAR PUSTAKA

http://edyanto56.blogspot.com/2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
H.A. Djazuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2009. Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.



[1] http://edyanto56.blogspot.com/2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html
[2] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.29.
[3] Ibid, hlm.31.
[4]Ibid, hlm.35.
[5] Ibid, hlm.102.
[6] Ibid, hlm.103.
[7] Ibid, hlm.104.
[8] H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm.33.
[9] Nashr Farid Muhammad Wasil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawai’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009, hlm.28.
[10] H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm.34.

[11] Ibid, hlm.36.
[12] Nashr Farid Muhammad Wasil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawai’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009, hlm.15.

[13] .A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm.55.
[14] Ibid, hlm.67.
[15] Ibid, hlm.80.
[16] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.105.
[17] Ibid, hlm.111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar