BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada
umumnya, pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah
asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah
yang disepakati oleh imam madzahib tanpa diperselisihkan kekuatannya. Adapun
jumlah kaidah asasiah hanya 5 macam (panca kaidah) yaitu (1) Segala masalah
tergantung pada tujuannya. (2) Kemadlorotan itu harus dihilangkan. (3)
Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. (4) Yakin itu tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan. (5) Kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Panca kaidah
asasiah ini semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala
kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan
dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat
memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili. Dengan kaidah-kaidah asasiah
ini kami akan mencoba memaparkan lebih lanjut apa sebenarnya kaidah asasiah
itu.[1]
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana kedudukan
kaidah fiqh?
2.
Apa saja pembagian
kaidah fiqh dari segi fungsi?
3.
Apa saja pembagian
kaidah fiqh dari segi mustasnayat?
4.
Apa saja pembagian
kaidah fiqh dari segi kualitas?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui kedudukan
kaidah fiqh
2.
Mengetahui pembagian
kaidsah fiqh dari segi fungsi
3.
Mengetahui pembagian
kaidsah fiqh dari segi mustasnayat
4.
Mengetahui pembagian
kaidsah fiqh dari segi kualitas
BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan
Kaidah Fiqh
Kedudukan
kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil
mandiri. Yang dimaksud dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fiqh digunakan
sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Al-Qur’an dan Sunah.
Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fiqh digunakan
sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.[2]
1.)
Kaidah
Fiqh Sebagai Dalil Pelengkap
Kaidah fiqh yang
dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya,
artinya ulama “sepakat” tentang kebolehan menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil
pelengkap.
Contoh penggunaan
kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap yaitu Keputusan Pengadilan Agama Yogyakarta
Nomor 6/1987 tanggal 20 Pebruari 1987 tentang izin poligami.[3] Dalam
keputusan tersebut, hakim yang memutuskan perkara menjadikan Al-Qur’an dan
kaidah fiqh sebagai dasar pertimbangan hukum. Ayat Al-Qur’an yang dijadikan
alasan adalah firman Allah: An-Nisa ayat 3
3. Dan jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Adapun kaidah fiqh
yang digunakan, diambil dari kitab Hasiyat al-Bajuri (j.III, hlm.366):
اذا كان
عندالرجل امر اتان فلم يعدل بينهماجاءيوم القيا مة وشقه ما ئل اوسا قط و قد كان
صلى الله عليه و سلمم فى غا ية منالعدل فى القسم
“Apabila
seorang laki-laki mempunyai dua orang istri dan ia tidak berlaku adil terhadap
keduanya, pada hari kiamat nanti ia akan dibangkitkan dalam keadaan miring
lambungnya atau tidak berlambung, dan Nabi Muhammad SAW adalah orang yang
paling adil dalam menentukan bagian (gilir terhadap para istrinya).”
2.)
Kaidah
Fiqh Sebagai Dalil Mandiri
Ulama berbeda
pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri. Imam
al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri. Pendapat ini didasarkan pada aspek penyandaran. Kaidah fiqh adalah
cara untuk mempermudah dalam memahami beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang
dicakupnya. Begitu pula berdalil dengan satu kaidah fiqh bearti telah berdalil
dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Sunah yang tercakup dalam kaidah tersebut.
Al-Hamawi menolak
pendapat Imam al-Haramayn al-Juwayni. Menurut al-Hamawi, berdalil hanya dengan
kaidah fiqh tidak dibolehkan. Lebih lanjut al-Hamawi mengatakan bahwa setiap
kaidah bersifat pada umumnyaaglabiyat atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap
kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian (al-mustasnayat). Karena memiliki
pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian
tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri
merupakan jalan keluar yang lebih baik.[4]
Pembagian
Kaidah Fiqh
Kaidah fiqh dapat dibedakan dari
tiga segi yaitu fungsi, mustasnayat dan kualitas.
1.
Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid
al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
العَادَةُمُحَكَّمُةٌ
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah ini
mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
الْمَعْرُوْفُ
بَيْنَ التِجَارِكَمَالِمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah
ditentukan sebagai syarat”
التَّعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَمَالتَّعْيِيْنُ بِالنَّصِ
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan
naskh”
Dengan
demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih
atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.[5]
2.
Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah
fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya
adalah :
الْبَيِّنَةُعَلَى
الْمُدَّعِيْ وَاْليَمِيْنُ عَلَى مَنْ اَنْكَرَ
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh
lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada
kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.[6]
3.
Segi kualitas
Dari segi kualitas kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
a.
Kaidah kunci, kaidah kunci
yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat
dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِمُقَدِّمُ عَلَى
جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak
kemafsadatan didahulukan daripada meraih
kemaslahatan”.
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah
upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia
mendapatkan kemaslahatan.[7]
b.
Kaidah asasi, adalah kaidah
fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam.
Kaidah
fiqh tersebut adalah:[8]
1. Kaidah Asasi Pertama
الْاُمُوْرُ
بِمَقَاصِدِهَا
“setiap perkara tergantung pada
niatnya.”
Al-Jauhari berpendapat bahwa ungkapan نَوَيْتُ mempunyai kesamaan arti, yaitu
aku berniat. Niat sendiri berarti kesengajaan atau maksud (al-qashad), sebab ia
merupakan pecahan kata dari verba نَوَى الشَّيْءُ يَنْوِيْهِ yang bermkna “sengaja melakukan sesuatu yang diyakininya.”[9]
Niat dikalangan ulam-ulama
Syafi’iyah diartikan dengan: bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan
pelaksanaannya. Di dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah
bermaksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram. Di
kalangan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati,
karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati.[10]
Fungsi niat:
a.
Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
b.
Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun
kejahatan.
c.
Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah
tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.[11]
2. Kaidah Asasi Kedua
اْليَقِيْنُ
لاَيَزَالُ بِالشَّكِّ
“keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan adanya keraguan.”
Kaidah ini berarti bahwa
keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu sangkaan yang
kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk
kontradiktif, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi
kuat yang menyatakan sebaliknya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ
فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا
يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila
seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu
apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia
keluar masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti
telah batal wudhunya). (H.R. Muslim)[12]
3.
Kaidah Asasi Ketiga
الْمَشَقَّةُتَجْلِبُ
التَّيْسِرَ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
المَشَقَّةُ menurut arti bahasa
(etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan
kesukaran. Sedangkan التَيْسِيْرُ secara etimologis berarti kemudahan. Jadi makna kaidah tersebut adalah
kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang
dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek
hukum), maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya
tanpa kesulitan dan kesukaran.[13]
4. Kaidah Asasi Keempat
الضَرَرُيُزَالُ
"Kemudaratan harus dihilangkan.”
Kaidah tersebut diatas
kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak
yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya
meringankannya.
Contoh kaidah di atas:
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena
perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana islam)
adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan.
- Adanya aturan al-hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan
kemudaratan.demikian pula aturan hak syuf’ah.[14]
5. Kaidah Asasi Kelima
الْعَادَةُمُحْكَمَة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Al-Adah didefinisikan apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum
yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.[15]
c.
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ”majallah
al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah
fuqaha usmaniah.[16]
d.
Kaidah fiqh yang di-ikhtilaf-kan di
Kalangan Sunni
Kaidah ada
yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh mazhab yang lain. Ikhtilaf
tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi Hanafiyah
dan Syafi’iyah.
Menurut
Hanafiyah, sewa dan pembayaran kerusakan tidak pernah dapat disatukan,
masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu Hanafiyah mengatakan bahwa:
الاجر و الضمان لايجتمعان
“Sewa dan pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan.”
Berbeda
dengan Hanafiyah, ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa antara upah dan penggantian
kerusakan dapat digabungkan. Karena pendapatnya demikian, ulama Syafi’iyah
mengatakan bahwa:
الاجر و
الضمان يجتمعان
“Sewa dan penggantian kerusakan (dapat) digabungkan.”[17]
BAB III
KESIMPULAN
Kedudukan kaidah
fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri. Yang
dimaksud dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan yang
dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
Kaidah fiqh dapat dibedakan dari
tiga segi yaitu fungsi, mustasnayat dan kualitas. Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Dari sumber mustasnayat, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: kaidah yang tidak
memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Dari segi kualitas yaitu kaidah kunci, kaidah asasi, kaidah fiqh yang
diterima leh semua aliran hukum suni, kaidah fiqh yang di-ikhtilaf-kan di
Kalangan Sunni.
DAFTAR PUSTAKA
http://edyanto56.blogspot.com/2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh
Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
H.A. Djazuli. 2007. Kaidah-Kaidah
Fikih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Washil, Nashr Farid Muhammad dan
Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2009. Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.
[1]
http://edyanto56.blogspot.com/2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html
[2]
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm.29.
[3]
Ibid, hlm.31.
[4]Ibid,
hlm.35.
[5]
Ibid, hlm.102.
[6]
Ibid, hlm.103.
[7]
Ibid, hlm.104.
[8]
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007,
hlm.33.
[9]
Nashr Farid Muhammad Wasil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawai’id Fiqhiyyah,
Jakarta: Amzah, 2009, hlm.28.
[10]
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007,
hlm.34.
[11]
Ibid, hlm.36.
[12]
Nashr Farid Muhammad Wasil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawai’id Fiqhiyyah,
Jakarta: Amzah, 2009, hlm.15.
[13]
.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007,
hlm.55.
[14]
Ibid, hlm.67.
[15]
Ibid, hlm.80.
[16]
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm.105.
[17]
Ibid, hlm.111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar