Kamis, 10 April 2014

Muzara'ah, Mukhabarah, Musyaqah dan Mugharasah



BAB I
PENDAHLUAN

A.    Latar Belakang
Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, mereka bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil. Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat ini. Dari beberapa permasalahan ini ada baiknya kita rangkaikan menjadi suatu kesatuan yang saling memenuhi atau membutuhkan antara permasalahan yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam bentuk kerjasama bagi hasil.
كنّ أكثر أهل المدينة حقلا وكان أحدنا يكرى أرضه فيقول: هذه القطعة لى وهذه لك فربما أخرجت ذه ولم تخرج ذه فنها هم النبي صلى الله عليه وسلم. (رواهالخمسة الا الترمذى)
“Dahulu kami adalah penduduk Madinah yang paling banyak memiliki lahan pertanian, dan salah seorang dari kami biasa menyewakan lahannya dengan mengatakan, “sebidang tanah ini untukku dan yang itu kusewakan kepadamu.” Tetapi adakalanya yang ini membuahkan hasilnya sedangkan yang itu tidak, maka Nabi saw melarang mereka (melakukannya).” (Riwayat Khamsah kecuali Turmudzi)
Dalam fiqh terdapat dua akad yang berhubungan dengan kerja sama pengelolaan tanah; 1) akad yang berkaitan dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan 2) akad yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman. Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan dari segi pihak penyedia benih: 1) akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara’ah; dan 2) akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya berasal penggarap tanah disebut mukhabarah. Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan/atau penyiraman) tanaman disebut musaqah. (Hasanudin dan Jaih Mubarok 2012, 164).

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud Muzara’ah/Mukhabarah?
b.      Bagaimana hukum akad Muzara’ah?
c.       Apa syarat dan rukun Muzara’ah?
d.      Apa yang dimaksud Musyaqah?
e.       Bagaimana hukum akad Musyaqah?
f.       Apa syarat dan rukun Musyaqah?
g.      Apa yang dimaksud Mugharasah?
h.      Bagaimana hukum akad Mugharasah?

C.    Tujuan
a.       Mengetahui bentuk-bentuk kerjasama dalam pertanian
b.      Mengetahui pengertian, hukum akad muzara’ah dan mengetahui syarat dan rukun akad muzara’ah
c.       Mengetahui pengertian mukhabarah
d.      Mengetahui pengertian, hukum akad musyaqah dan mengetahui syarat dan rukun akad musyaqah
e.       Mengetahui pengertian dan hukum akad mugharasah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Muzara’ah/Mukhabarah
A1. Pengertian Muzara’ah/Mukhabarah
Secara bahasa, muzara’ah berasal dari kata zara’a, yang memiliki arti menaburkan benih di tanah. Kata muzarah mengikuti wazan Mufaa’alatan dari kata az-zar’u yang sama artinya dengan al-inbaatu (menanam, menumbuhkan). Orang-orang Irak memberikan istilah muzara’ah dengan al-qarah. (Masjupri 2013, 193).
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: (Haroen 2007, 275)
الشِرْكَةُ فِي الزُّرْعِ
“Perserikatan dalam pertanian”.
Menurut ulama Hanabilah al-muzara’ah adalah: (Masjupri 2013, 193)
دَ فْعُ الأَرْضِ أِلَى مَنْ يَزْرَعُهَاأَ و يَعْمَلُ عَلَيْهَا وَالزَّرْعُ بَيْنَهُمَا........ْ
“Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau menolongnya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya.
Mukhabarah adalah bentuk kerjasama antara pemilik sawah/tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.
Perbedaan muzara’ah dengan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Dalam muzara’ah benih berasal dari pemilik tanah, sedangkan mukhabarah benih tanaman berasal dari penggarap. (Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiq Muamalah 2012, 118)
Ulama Syafi’iyah membedakan antara definisi  mukhabarah dengan muzara’ah, yaitu:
عَمَلَ الأَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْعَا مِلِ
“Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Ulama Syafi’iyah merinci makna muzara’ah dengan membedakan dengan mukhabarah. Muzara’ah adalah mengelola tanah di atas sautu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pemilik tanah. Sedangkan mukhabarah berasal dari kata kha ba ra yang mempunyai arti membelah untuk ditanami yaitu kerjasama untuk mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dengan benih dari penggarap tanah. (Masjupri 2013, 194)
Jadi, muzara’ah yaitu kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) disediakan oleh pemilik tanah. Bila kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut mukhabrah. (Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq 2012, 115)
A2. Hukum Muzara’ah
Rasulullah SAW bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.

A3. Rukun dan Syarat Muzara’ah
Jumhur ulama menetapkan rukun muzara’ah adalah
a.       Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap
b.      Ma’qud alaih (objek aqad) yaitu manfaat tanah dan pekerjaan
c.       Ijab qobul
Menurut ulama Hanabilah akad Muzara’ah tidak memerlukan qabul secara lisan, tetapi dengan perbuatan yaitu dengan mengerjakan tanah yang menjadi objek akad. Hal ini dapat dianggap sebagai qabul. (Masjupri 2013, 197)
Syarat-syarat Muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:
1.      Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah balig dan berakal.
2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3.      Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
a.       Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.
b.      Batas-batas tanah itu jelas.
c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengelola pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
4.      Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihakharus jelas.
b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga atau seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
5.      Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dala akad sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat. (Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq 2012, 116)
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), muzara’ah mempunyai empat keadaan, tiga sahih dan satu batal.
a.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedang pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
b.      Dibolehkan muzara’ah jika tanah dari seseorang, sedangkan benih, alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
c.       Dibolehkan muzara’ah jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedang pekerjaan berasal dari penggarap.
d.      Muzara’ah tidak boleh jika tanah dan alat penggarap berasal dari pemilik tanah, sedang benih dan pekerjaan dari penggarap. (Masjupri 2013, 197).
Berakhirnya Akad Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan akad muzara’ah berakhir;
a.       Habis masa akad muzara’ah, akan tetapi jika waktu habis namun belum layak panen, maka akad ini tidak batal melainkan tetap dilanjutkan hingga panen dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan.
b.      Salah seorang yang akad meninggal, menurut ulama Syafiiyah, akad ini tidak dianggap berakhir dengan keadaan ini.
c.       Adanya uzur, menurut Hanafiyah di antara uzur yang menyebabkan batalnya muzara’ah antara lain:
1)      Tanah garapan terpaksadijual, misalnya untuk membayar hutang
2)      Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan sebagainya. (Masjupri 2013, 199).
B.     Musyaqah
B1. Pengertian Musyaqah
Musyaqah berasal dari kata saqay, yang mempunyai arti memberi minum, musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Tapi yang lebih dikenal adalah musyaqah. (Masjupri 2013, 200).
Secara terminologi, musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh sebagai berikut:
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, musaqah ialah:
عقد على خدمة شجر ونخل وزرع ونحو ذالك بشرائط مخصوصة
“Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, musaqah ialah;
معاقدة دفع الأشجار الى من يعمل فيها على أنّ الثمرة بينهما
“Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan:
أَنْ يُعَا مِلَ غَيْرُهُ عَلَى نَخْل أَوْ شَجَر عِنَبٍ فَقَطْ لِيَتَعَهَّدَهُ بِالسَقَى وَالتَرْبِيَّةِ عَلَى أَنَّ الثَّمَرَةَ لَهُمَا
“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap”.
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dandirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat. (Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq 2012, 109).


B2. Hukum Akad Musyaqah
Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail, akad musaqah tidak dibolehkan, berdasarkan hadis:
مَنْ كَانَ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا وَلاَيَكْرِيْهَا بِثُلُثِ وَلاَ بِرُبْعٍ وَلاَضض بِطَعَامٍ مُسَمَّى
“Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakannya dengan sepertigaatau seperempat, dan tidak pula dengan makanan yang telah ditentukan”.
Menurut Abu yusuf dan Muhammad dan jumhur ulama membolehkan musaqah yang didasarkan pada hadis;
            عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرٍ بِشَرْطِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْزَرْعٍ
Bahwa Rasulullah saw melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu (HR.Jama’ah). (As-Syaukani 2006, 177).
B3. Syarat dan Rukun Musyaqah
Syarat musaqah:
1)      Kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus orang yang cakap hukum, yakni dewasa (balig) dan berakal.
2)      Obyek musaqah itu harus terdiri ataspepohonan yang mempunyai buah.
3)      Tanah itu diserahkansepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4)      Hasil(buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesui dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, dibagi tiga dan sebagianya.
5)      Lamanya perjanjian itu harus jelas, karna transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian. (Haroen 2007, 284)
Jumhur ulama menetapkan rukun musyaqah 5 yaitu
1.      Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus balig dan berakal.
2.      Objek musyaqah
Menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Menurut ulama Malikiyah adalah tumbuhan seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lainnya dengan dua syarat:
a.       Akad dilakukan sebelum buah tampak daan dapat diperjualbelikan.
b.      Akad ditentukan dengan waktu tertentu.
Menurut ulama Hanabilah berpendapat musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat di makan. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur.
3.      Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
4.      Pekerjaan
Disyaratkan pekerja harus bekerja sendiri
5.      Shighat (ungkapan ijab qabul) (Masjupri 2013, 203)
Berakhirnya Akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh, akad musaqah berakhir apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b.      Salah satu pihak meninggal dunia.
c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad. (Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq 2012, 112)

C.    Mugharasah
C1. Pengertian Mugharasah
Secara etimologi, al-mugharasah berarti transaksi terhadap pohon. Secara terminologi fiqh, al-mugharasah didefinisikan para ulama fiqh dengan:
أَنْ يَدْفَعَ الرَّجُلُ أَرْضَهُ لِمَنْ يَعْرُسُ فِيْهَا شَجَرًا
Penyerahan tanah pertanian kepada petani untuk ditanami atau sebagaimana yang didefinisikan ulama Syafi’iyah dengan:
أَنْ ييُسْلِمَ أِلَيْهِ أَرْضًا لِييَغْرُسَهَا مَنْ عِنْدَهُ وَالشَّجَرُ بَيْنَهُمَا
Penyerahan tanah pertanian kepada petani yang pakar di bidang pertanian, sedangkan pohon yang ditanam menjadi milik berdua (pemilik tanah dan petani).
Masyarakat Syam menamakannya dengan al-munashabah (parohan), karena tanah yang telah digarap menjadi milik mereka secara bersama-sama dan masing-masing pihak mendapatkan bagian separoh. (Haroen 2007, 288)
C2. Hukum Akad Mugharasah
Menurut Ulama Hanafiyah  akad mugharasah tidak boleh karena;
a.       Dalam akad mugharasah disyaratkan perserikatan terhadap sesuatu yang telah ada yaitu tanah pertanian.
b.      Dalam al-mugharasah, pemilik tanah menjadikan separoh dari tanahnya sebagai upah bagi penggarap atas pekerjaan yang dilakukannya.
c.       Dalam al-mugharasah, pemilik tanah memberikan upah kepada petani penggarap untuk menggarap tanah kosong menjadi kebun yang produktif, dengan alat dan pekerjaan yang dilakukannya, dan sebagai imbalannya separoh tanah yang sudah menjadi kebun produktif itu menjadi milik petani penggarap.
Implikasi dari ketiga hal di atas, jika akad al-mugharasah telah berjalan, maka seluruh pohon dan hasilnya menjadi milik pemilik tanah, sedangkan petani penggarap hanya berhak nilai seluruh pohon yang diperolehnya, tatkala dilakukan panen, dan atas segala pekerjaan yang dilakukannya petani penggarap berhak mendapat upah yang wajar.
Menurut ulama Syafi’iyah juga menganggap akad ini tidak sah, karena pengelolaan tanah al-mugharasah tidak sama dengan al-musaqah. Jika akad ini tetap dilangsungkan, seluruh hasil yang diperoleh dari al-mugharasah ini menjadi milik petani penggarap, sedangkan pemilik tanah hanya berhak sewa tanah sesuai dengan harga yang berlaku ketika itu.
Menurut Hanabilah berpendirian bahwa jika pemilik tanah menyerahkan sebidang tanah kepada petani penggarap dengan ketentuan bahwa seluruh tanah dan pepohonan yang ada diatasnya menjadi milik berdua, maka akad seperti ini menjadi fasid (rusak).
Menurut Ulama Malikiyah berpendirian al-mugharasah boleh diterima apabila dilakukan dengan cara al-ijarah (upah-mengupah), yaitu dengan cara petani penggarap disewa pemilik tanah untuk mengolah dan memelihara pohon yang tumbuh diatas tanah miliknya, dan pemilik tanah memberi upah tertentu atas kerja itu kepada petani penggarap. (Haroen 2007, 288-290)










BAB III
KESIMPULAN

Dalam fiqh terdapat dua akad yang berhubungan dengan kerja sama pengelolaan tanah; 1) akad yang berkaitan dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan 2) akad yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman. Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan dari segi pihak penyedia benih: 1) akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara’ah; dan 2) akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya berasal penggarap tanah disebut mukhabarah. Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan/atau penyiraman) tanaman disebut musaqah.


DAFTAR PUSTAKA

Nashif, Syekh Mansyur Ali. 2002. Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah SAW. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Asy-Syaukani, Al Imam. 2006. Mukhtashar Nailul Author. Jakarta: Pustaka Azzam.
Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. 2012. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Masjupri. 2013. Fiqh Muamalah 1. Surakarta: FSEI Publlishing.

4 komentar: