Minggu, 26 April 2015

Harta Kekayaan Dalam Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya dapat dipenuhi. Salah satu faktor yang penting dalam perkawinan adalah harta kekayaan. Faktor ini dapat dikatakan yang dapat menggerakkan suatu kehidupan perkawinan. Dalam perkawinan kedudukan harta benda disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak harta benda dalam perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya perselisihan dan perceraian suami isteri.
Dalam perkawinan, memang selayaknya suami yang memberikan nafkah bagi kehidupan rumah tangga, dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan ditentukan oleh kondisi dan tanggungjawab suami. Namun di zaman modern ini, wanita hampir sama berkesempatan dalam pergaulan sosial, wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Hal ini tentunya membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan, baik selama perkawinan berlangsung maupun jika terjadi perceraian.[1]
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan, pengertian harta bersama, harta bersama menurut peraturan perundang-undangan, dan harta bersama menurut hukum islam.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud harta kekayaan dalam perkawinan?
2.      Apa yang dimaksud harta bersama?
3.      Bagaimana konsep harta bersama dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974?
4.      Bagaimana konsep harta bersama dalam hukum islam?

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui apa yang dimaksud harta kekayaan dalam perkawinan
2.      Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan harta bersama dalam perkawinan
3.      Dapat mengetahui konsep harta bersama dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974
4.      Dapat mengetahui konsep harta bersama dalam hukum islam



BAB II
PEMBAHASAN

A.    HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Harta kekayaan adalah benda milik seseorang yang mempunyai nilai ekonomi. Dalam literatur hukum, benda adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda zaak, barang adalah terjemahan dari good, dan hak adalah terjemahan dari recht. Menurut pasal 499 KHUPdt, pengertian benda meliputi barang dan hak. Barang adalah benda berwujud, sedangkan hak adalah benda tak berwujud.[2]
Pada dasarnya menurut hukum islam harta suami isteri itu terpisah, jadi masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya, tanpa diganggu oleh pihak lain.
Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak ialah harta bawaan masing-masing sebelum terjadinya perkawinan ataupun harta yang diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, hadiah dan lain sebagainya.
Apabila dilihat dari asalnya, harta kekayaan dalam perkawinan itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan: [3]
1.      Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin, baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, dalam hal ini disebut harta bawaan.
2.      Harta masing-masing suami isteri yang diperolehnya selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi karena diperoleh seperti hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
3.      Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka, dalam hal ini disebut harta pencaharian.

B.     HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN
Secara bahasa, harta bersama terdiri dari dua kata harta dan bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Harta dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan tentunya yang bernilai. Sayuti Thalib dalam  bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia mengatakan bahwa: “Harta adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama ikatan perkawinan.
Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H., dalam bukunya Hukum Harta Kekayaan menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.
Menurut Drs. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., bahwa “harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.” [4]
Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.[5]
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35-37 dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami isteri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. [6]

C.    HARTA BERSAMA DALAM UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974
Harta bersama diatur dalam Undang-Undang no.1 Tahun 1974 pada pasal 35, 36 dan 37 menyatakan:
Pasal 35:
1.      Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.      Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1.      Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2.      Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
            Dalam pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara harta kekayaan suami isteri. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dariketentuan itu, suami isteri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam pasal 139-154 KUH Perdata.[7]
Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta authenthic di depan notaris. Akta authentic ini sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing suami dan isteri, jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka terjadi pembauran semua harta suami isteri, kemudian harta suami dan isteri dianggap harta bersama.
Dalam pasal 128-129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami isteri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami isteri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Perjanjian perkawinan dibenarkan oleh peraturan Perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentuan umum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. [8]



D.    HARTA BERSAMA DALAM HUKUM ISLAM
Dalam Al-Qur’an yang dapat diartikan berhubungan dengan harta bersama yaitu firman Allah:
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)
            Para pakar hukum islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama. Sebagian mereka mengatakan bahwa agama islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an, oleh karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka untuk mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya. Sebagian pakar hukum islam yang lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika agama islam tidak mengatur tentang harta bersdama ini, sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agam islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termsuk dalam ruang lingkup pembahsan hukum islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan itu pasti dalam Al-Hadist dan Al-Hadist ini merupakan sumber hukum islam juga, pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham.[9]
            Untuk lebih lengkap akan dikemukakan tulisan Dr. Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya berjudul pencaharian harta bersama suami isteri di Aceh ditinjau dari sudut Undang Undang perkawinan tahun 1974 dan hukum islam. Dalam salah satu sub pembahasannya, beliau menganalisa tentang pendapat-pendapat para ulama mengenai perkongsian.
            Mereka membagi pembahasan dalam kitab fiqih itu dalam empat bagian yaitu:
1.      Rubu’ Ibadah. Di dalamnya dibicarakan khusus mengenai ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2.      Rubu’ Mua’malah. Di dalamnya dibicarakan berbagai masalah yang berkaitan dengan hukum kebendaan, hukum perikatan dan hukum dagang.
3.      Rubu’ Munakahat. Di sini khusus dibicarakan mengenai masalah perkawinan, perceraian dan yang berhubungan dengan itu.
4.      Rubu’ Jinayah. Di sini dibicarakan khusus mengenai hukum pidana.           
Harta bersama suami isteri, mestinya masuk dalam rubu’ muamalah, tetapi ternyata secra khusus tidak dibicarakan. Mungkin hal ini disebabkan oleh karena  pada umumnya pengarang kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat mengenai harta bersama suami isteri itu. Tetapi  sedikit dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah.[10]
Para pakar hukum islam di Indonesia ketika merumuskan Pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam setuju untuk mengambil syarikat abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami isteri dalam kompilasi. Di dalam KHI, harta kekayaan dalam perkawinan terdapat pada bab XII.
Pasal 85[11]
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86
1)      Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
2)      Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
1)      Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2)      Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
1)      Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2)      Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
3)      Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
4)      Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93
1)      Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2)      Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3)      Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4)      Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1)      Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2)      Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Pasal 95
1)      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2)      Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1)      Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2)      Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.



BAB III
KESIMPULAN

Apabila dilihat dari asalnya, harta kekayaan dalam perkawinan itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan:
1.      Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin, baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, dalam hal ini disebut harta bawaan.
2.      Harta masing-masing suami isteri yang diperolehnya selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi karena diperoleh seperti hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
3.      Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka, dalam hal ini disebut harta pencaharian.
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35-37 dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bersama diatur dalam Undang-Undang no.1 Tahun 1974 pada pasal 35, 36 dan 37. Di dalam KHI, harta kekayaan terdapat dalam Pasal 85-97.




[1] http://www.paparazinews.com/harta-kekayaan-dalam-perkawinan-dan-perceraian/
[2] Abdulkadir Muhammad. Hukum Harta Kekayaan. (Citra Aditya Bakti: 1994. Bandung). Hlm.10.
[3] Wasmandan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Teras: 2011. Yogyakarta). Hlm.213.
[4] Ibid. hlm. 218.
[5] Mohd. Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. (Bumi Aksara: 1999.  Jakarta). Hlm.188.
[6] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Prenada Media Group: 2006. Jakarta).  Hlm.105.
[7] Ibid. hlm. 104.
[8] Wasmandan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Teras: 2011. Yogyakarta). Hlm.226.
[9] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Prenada Media Group: 2006. Jakarta).  Hlm.109.
[10] Wasmandan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Teras: 2011. Yogyakarta). Hlm.230.
[11] Mohd. Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. (Bumi Aksara: 1999.  Jakarta). Hlm. 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar