BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Harta benda dapat memenuhi kebutuhan
pokok dan kebutuhan penunjang manusia. Dengan adanya harta benda berbagai
kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi,
rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya dapat dipenuhi. Salah
satu faktor yang penting dalam perkawinan adalah harta kekayaan. Faktor ini
dapat dikatakan yang dapat menggerakkan suatu kehidupan perkawinan. Dalam
perkawinan kedudukan harta benda disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan
tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Tetapi banyak
juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak harta benda dalam perkawinan
menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya perselisihan dan perceraian
suami isteri.
Dalam perkawinan,
memang selayaknya suami yang memberikan nafkah bagi kehidupan rumah tangga,
dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan ditentukan oleh kondisi dan tanggungjawab
suami. Namun di zaman modern ini, wanita hampir sama berkesempatan dalam
pergaulan sosial, wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi rumah
tangga. Hal ini tentunya membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan,
baik selama perkawinan berlangsung maupun jika terjadi perceraian.[1]
Oleh karena
itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai harta kekayaan dalam
perkawinan, pengertian harta bersama, harta bersama menurut peraturan perundang-undangan,
dan harta bersama menurut hukum islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud harta kekayaan
dalam perkawinan?
2.
Apa yang dimaksud harta bersama?
3.
Bagaimana konsep harta bersama dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974?
4.
Bagaimana konsep harta bersama dalam
hukum islam?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui apa yang dimaksud harta
kekayaan dalam perkawinan
2.
Dapat mengetahui apa yang dimaksud
dengan harta bersama dalam perkawinan
3.
Dapat mengetahui konsep harta
bersama dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974
4.
Dapat mengetahui konsep harta
bersama dalam hukum islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HARTA
KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Harta kekayaan adalah benda milik seseorang yang mempunyai nilai
ekonomi. Dalam literatur hukum, benda adalah terjemahan dari istilah bahasa
Belanda zaak, barang adalah terjemahan dari good, dan hak adalah terjemahan
dari recht. Menurut pasal 499 KHUPdt, pengertian benda meliputi barang dan hak.
Barang adalah benda berwujud, sedangkan hak adalah benda tak berwujud.[2]
Pada dasarnya menurut hukum islam harta suami isteri itu terpisah,
jadi masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya
dengan sepenuhnya, tanpa diganggu oleh pihak lain.
Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak ialah
harta bawaan masing-masing sebelum terjadinya perkawinan ataupun harta yang
diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan usaha
bersama, misalnya menerima warisan, hibah, hadiah dan lain sebagainya.
Apabila dilihat dari asalnya, harta kekayaan dalam perkawinan itu
dapat digolongkan menjadi tiga golongan: [3]
1.
Harta masing-masing
suami isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin, baik diperolehnya karena
mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, dalam hal ini disebut harta bawaan.
2.
Harta masing-masing
suami isteri yang diperolehnya selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi
diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi
karena diperoleh seperti hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
3.
Harta yang diperoleh
setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau
salah satu pihak dari mereka, dalam hal ini disebut harta pencaharian.
B.
HARTA
BERSAMA DALAM PERKAWINAN
Secara bahasa, harta bersama terdiri dari dua kata harta dan
bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Harta dapat berarti barang-barang
(uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan tentunya yang bernilai. Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia
mengatakan bahwa: “Harta adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan
di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha
mereka atau sendiri-sendiri selama ikatan perkawinan.
Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H., dalam bukunya Hukum Harta
Kekayaan menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan
dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi itu
berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi
menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum
menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.
Menurut Drs. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., bahwa “harta bersama
adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.” [4]
Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing
suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya.[5]
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35-37
dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Masing-masing suami isteri terhadap harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau isteri
dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan
kedua belah pihak. [6]
C.
HARTA
BERSAMA DALAM UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974
Harta bersama diatur dalam Undang-Undang no.1 Tahun 1974 pada pasal
35, 36 dan 37 menyatakan:
Pasal
35:
1.
Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1.
Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
2.
Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda
diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam
pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan,
secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara harta kekayaan suami isteri.
Persatuan harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan
atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Jika bermaksud
mengadakan penyimpangan dariketentuan itu, suami isteri harus menempuh jalan
dengan perjanjian kawin yang diatur dalam pasal 139-154 KUH Perdata.[7]
Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan sebelum
perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta authenthic di depan
notaris. Akta authentic ini sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam
persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan
masing-masing suami dan isteri, jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat
sebelum perkawinan dilaksanakan, maka terjadi pembauran semua harta suami
isteri, kemudian harta suami dan isteri dianggap harta bersama.
Dalam pasal 128-129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya
tali perkawinan antara suami isteri, maka harta bersama itu dibagi dua antara
suami isteri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu
sebelumnya diperoleh. Perjanjian perkawinan dibenarkan oleh peraturan
Perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentuan umum
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. [8]
D.
HARTA BERSAMA DALAM HUKUM ISLAM
Dalam Al-Qur’an yang dapat diartikan berhubungan dengan harta
bersama yaitu firman Allah:
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# c%2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJÎ=tã ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)
Para pakar hukum
islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama. Sebagian mereka mengatakan
bahwa agama islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an, oleh
karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka untuk mengaturnya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono dan Andoerraoef serta diikuti oleh
murid-muridnya. Sebagian pakar hukum islam yang lain mengatakan bahwa suatu hal
yang tidak mungkin jika agama islam tidak mengatur tentang harta bersdama ini,
sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agam
islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal,
semuanya termsuk dalam ruang lingkup pembahsan hukum islam. Jika tidak
disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan itu pasti dalam Al-Hadist dan
Al-Hadist ini merupakan sumber hukum islam juga, pendapat ini dikemukakan oleh
T. Jafizham.[9]
Untuk lebih
lengkap akan dikemukakan tulisan Dr. Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya
berjudul pencaharian harta bersama suami isteri di Aceh ditinjau dari sudut
Undang Undang perkawinan tahun 1974 dan hukum islam. Dalam salah satu sub
pembahasannya, beliau menganalisa tentang pendapat-pendapat para ulama mengenai
perkongsian.
Mereka membagi
pembahasan dalam kitab fiqih itu dalam empat bagian yaitu:
1.
Rubu’
Ibadah. Di dalamnya dibicarakan khusus mengenai ibadah, seperti shalat, puasa,
zakat, dan haji.
2.
Rubu’
Mua’malah. Di dalamnya dibicarakan berbagai masalah yang berkaitan dengan hukum
kebendaan, hukum perikatan dan hukum dagang.
3.
Rubu’
Munakahat. Di sini khusus dibicarakan mengenai masalah perkawinan, perceraian
dan yang berhubungan dengan itu.
4.
Rubu’
Jinayah. Di sini dibicarakan khusus mengenai hukum pidana.
Harta bersama suami isteri, mestinya masuk dalam rubu’ muamalah,
tetapi ternyata secra khusus tidak dibicarakan. Mungkin hal ini disebabkan oleh
karena pada umumnya pengarang
kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal
adanya adat mengenai harta bersama suami isteri itu. Tetapi sedikit dibicarakan mengenai masalah
perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah.[10]
Para pakar hukum islam di Indonesia ketika merumuskan Pasal 85-97
Kompilasi Hukum Islam setuju untuk mengambil syarikat abdan sebagai landasan
merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami isteri dalam kompilasi. Di dalam
KHI, harta kekayaan dalam perkawinan terdapat pada bab XII.
Pasal 85[11]
Adanya harta bersama
dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami atau isteri.
Pasal 86
1)
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta
suami dan harta isteri karena perkawinan.
2)
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi
penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi
penuh olehnya.
Pasal 87
1)
Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
2)
Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi
perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan
itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab
menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung
jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
1)
Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85
di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2)
Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda
tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
3)
Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak
maupun kewajiban.
4)
Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa
persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta
bersama.
Pasal 93
1)
Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau
isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2)
Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan
untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3)
Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan
kepada harta suami.
4)
Bila harta suami tidak ada atau mencukupi
dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1)
Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri
sendiri.
2)
Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang
suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau
keempat.
Pasal 95
1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2)
huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan
sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila
salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2)
Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas
harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1)
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2)
Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau
isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
BAB III
KESIMPULAN
Apabila dilihat dari asalnya, harta kekayaan dalam perkawinan itu
dapat digolongkan menjadi tiga golongan:
1.
Harta masing-masing
suami isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin, baik diperolehnya karena
mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, dalam hal ini disebut harta bawaan.
2.
Harta masing-masing
suami isteri yang diperolehnya selama berada dalam hubungan perkawinan, tetapi
diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi
karena diperoleh seperti hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
3.
Harta yang diperoleh
setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau
salah satu pihak dari mereka, dalam hal ini disebut harta pencaharian.
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35-37
dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Harta bersama diatur dalam Undang-Undang no.1 Tahun 1974 pada pasal
35, 36 dan 37. Di dalam KHI, harta kekayaan terdapat dalam Pasal 85-97.
[1] http://www.paparazinews.com/harta-kekayaan-dalam-perkawinan-dan-perceraian/
[2] Abdulkadir
Muhammad. Hukum Harta Kekayaan. (Citra Aditya Bakti: 1994. Bandung). Hlm.10.
[3] Wasmandan
Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Teras: 2011.
Yogyakarta). Hlm.213.
[4] Ibid. hlm. 218.
[5] Mohd. Idris
Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. (Bumi Aksara: 1999. Jakarta). Hlm.188.
[6] Abdul Manan.
Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Prenada Media Group: 2006.
Jakarta). Hlm.105.
[7] Ibid. hlm.
104.
[8] Wasmandan
Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Teras: 2011.
Yogyakarta). Hlm.226.
[9] Abdul Manan.
Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Prenada Media Group: 2006.
Jakarta). Hlm.109.
[10] Wasmandan
Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Teras: 2011.
Yogyakarta). Hlm.230.
[11] Mohd. Idris
Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. (Bumi Aksara: 1999. Jakarta). Hlm. 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar