BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak makam-makam Sunan di
Indonesia ini yang sering di kunjungi (ziarah). Kita sering mengenal Sunan
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan
Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Drajat. Yang terkenal dengan sebutan Wali Songo.
Makalah ini akan menceritakan sedikit tentang sejarah salah satu makam di Bayat
yaitu Sunan Padang Aran. Makam Sunan Padang Aran di Bayat merupakan salah satu
makam yang saat ini masih banyak masyarakat baik dalam maupun luar Bayat yang
berziarah kesana. Walaupun beliau tidak termasuk dalam Wali Songo namun beliau
merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga.
B.
Rumusan Masalah
Pada kesempatan ini
akan membahas sejarah perjalan Sunan Padang Aran dari Semarang sampai di Bayat.
Sejarah beliau masuk islam. Dan masjid peninggalan beliau.
C.
Tujuan
Lebih meningkatkan pengetahuan
tentang sejarah perjalan Sunan Padang Aran. Mengetahui sejarah beliau masuk
islam. Dan mengetahui peninggalan-peninggalan beliau salah satunya masjid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Sunan Padang
Aran
Banyak
cerita tentang kisah asal usul Sunan Padang Aran. Salah satunya di ceritakan
bahwa pada pemerintahan Prabu Brawijaya raja Majapahit yang ke V merupakan
zaman peralihan. Pada masa itu Majapahit terdesak oleh pasukan islam. Prabu
Brawijaya memilih pergi dari istana. Pada waktu itu Prabu Brawijaya masih
menganut agama Hindu. Dalam perjalanannya sampailah beliau di desa Sawer dan
bertemu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga menyarankan agar beliau pergi ke daerah
Semarang dan menjadi Bupati Semarang. Di Semarang inilah beliau di didik oleh
Sunan Kalijaga dan diberi sebutan Ki Ageng Padang Aran.
Karena
merasa tugasnya mengajar Ki Ageng Padang Aran sudah selesai maka Sunan Kalijaga
meninggalkan Semarang untuk melanjutkan penyebaran agama islam di tempat lain.
Setalah beberapa kurun waktu Ki Ageng Padang Aran mencari Sunan Kalijaga ke
Jabalkat. Setelah pertemuan itu beliau diberi nama Sunan Padang Aran Bayat.
Dalam
kisah lain di ceritakan bahwa beliau adalah Adipati di Semarang. Beliau adalah
Adipati yang ke-2. Beliau adalah Adipati yang kaya raya serta hidupnya sangat
makmur. Istananya sangat megah namun sayangnya beliau kikir. Beliau mempunyai
dua orang istri yaitu Nyai Ageng Kaliwungu dari Kaliwungu Semarang dan Nyai
Ageng Krakitan dari Bojonegoro, Jawa Timur. Kedua istri beliau inilah yang
selalu menemani beliau kemanapun beliau pergi. Maka tak heran jika beliau makin
congkak dan sombong.
Pada
suatu hari saat Bupati sedang duduk asik dengan istri-istrinya, datanglah
seorang tukang rumput yang akan menjual rumputnya. Lalu tukang rumput itu
menawarkan rumputnya kepada sang Bupati. Kemudian sang Bupati mau membeli
rumput tersebut. Harga sudah di sepakati 2 keping, lalu rumput di bawa masuk
sampai di kandang kuda. Alangkah terkejutnya Bupati ternyata di dalam keranjang
rumput tersebut terdapat bongkahan emas yang cukup besar.
Bupati
berkata dalam hati “Bapak tukang rumput itu pasti tidak tahu kalau ada
bongkahan emas di dalam keranjang rumputnya tadi”. Kemudian Bupati keluar
dengan membawa uang 1 keping, lalu di berikan kepada tukang rumput. Bupati berkata
“Ini pak uangmu ku bayar 1 keping karena rumputnya kurang bagus” dan
melemparkan uang kepada tukang rumput. Besok bawa rumput yang bagus ya, kata
Bupati.
Kemudian
tukang rumput itu pergi. Bupati itu selalu teringat dengan bongkahan emasnya
yang ada dalam rumput tadi. Pada keesokan harinya tukang rumput itupun datang
lagi. Dan memberikan rumput kepada Bupati. Setelah dilihat ternyata rumputnya
bagus. Bupati ini bertanya “Rumput dari mana Pak?’; “Dari Jabalkat” jawab
tukang rumput. Kemudian rumput itu di bawa masuk, sampai di dalam rumput
dilihat dan alangkah terkejutnya Bupati itu. Ternyata ada bongkahan emas yang
lebih besar dari kemarin. Bupati ini sangat gembira dan berkata “aku akan lebih
kaya lagi”.
Begitulah
setiap hari, singkat cerita beberapa hari tukang rumput itu tidak pernah datang
lagi. Padahal Bupati ini sangat mengharapkan kedatangannya. Pada suatu hari
Bupati ini punya hajatan. Dalam acara hajatan tersebut yang di undang hanya
orang-orang kaya saja. Hajatan ini meriah sekali. pada waktu penyambutan
dimulai, Bupati terkejut melihat tukang rumput ada di tengah-tengah para tamu.
Tukang rumput itu memakai pakain serba hitam dan kelihatan jelek. Masuknya
tukang rumput itu tidak ada yang tahu.
Bupati
itu marah dan kemudian tukang rumput itu disuruh keluar dan ditempatkan di
emperan kandang kuda. Tukang rumput itu berkata dalam hati, sangat membedakan
sekali Bupati ini. Padahal saya sudah masuk malah di suruh keluar dan
ditempatkan yang tidak senonoh seperti ini hingga hajatan selesai.
Pada
keesokan harinya, tukang rumput itu datang untuk mengambil topi yang sengaja di
taruh di kandang kuda kemarin. Bupati melihatnya dan bertanya “Mana Pak
rumputnya?”. “Habis kanjeng” jawab tukang rumput. Bupati marah-marah. Bupati
berkata “Kalau aku kalah kaya dengan kamu, aku akan menurut perintahmu dan akan
meninggalkan hartaku. Ternyata kata-kata itu yang ditunggu Sunan Kalijaga.
Kemudian pada saat itu tukang rumput meminjam cangkul, kemudian mengayunkannya
3x dan kemudian tanah yang di cangkulnya berubah jadi emas yang berkilauan.
Tukang rumput berkata “Ambillah emas ini kalau kamu mau”.
Dengan
perasaan takut dan heran Bupati ini terdiam sejenak, dalam benaknya ia berkata
orang ini pasti bukan ornga sembarangan. Bupati bertanya “Siapakah Bapak ini
sebenarnya?”, “Aku Sunan Kalijaga” sahut tukang rumput tadi. Segera Bupati itu
minta maaf kepada Sunan Kalijaga atas kelancangannya dan bersimpuh di bawah
kaki Sunan Kalijaga. Kemudian berkata “Sunan, bolehkah aku mengabdi padamu?”.
Sunan Kalijaga membolehkannya namun dengan syarat yaitu
1.
Segeralah bertaubat dan
meninggalkan keserakahan.
2.
Harus mendirikan masjid yang
selalu diiringi bedhug yang berbunyi setiap waktu sholat tiba.
3.
Harus membagikan hartamu kepada
sesama umat lebih-lebih yang kekurangan dan fakir miskin.
4.
Menghidupkan lampu di rumah
Sunan Kalijaga.
Setelah semuanya kau
lakukan dan berniat sungguh-sungguh untuk berubah, maka segeralah mencari aku
di Jabalkat. “Dimana tempat itu Sunan?” tanya Bupati itu. Sunan Kalijaga
menjawabnya di daerah Tembayat, adapun nama saya Syeh Malaya.
Setelah kejadian itu, Sunan Kalijaga
menghilang entah kemana. Padang Aran pun menyesal karena yang di hinanya
ternyata adalah seorang Sunan. Kemudian Padang Aran menceritakan apa yang
dialaminya kepada kedua istrinya dan mengutarakan maksudnya untuk mengikuti
Sunan Kalijaga di Jabalkat. Padang Aran berpesan kepada kedua istrinya jika
mereka ingin ikut tidak usah membawa apa-apa karena harta sudah tidak ada
artinya.
B.
Perjalanan Ke Jabalkat
Singkat cerita Ki Ageng Padang Aran
akan pergi ke Jabalkat untuk mencari Sunan Kalijaga. Beliau berpamitan pada
kedua istrinya. Baru melangkah beberapa meter, Ki Ageng Padang Aran menoleh
kebelakang. Dan ternyata kedua istrinya sudah mengikutinya dengan membawa
tongkat. Tongkat itu diisi dengan emas dan berlian. Ki Ageng sudah tahu kalau
istrinya membawa harta, namun Ki Ageng tidak menegurnya.
Dalam perjalanan ke Jabalkat Ki
Ageng Padang Aran selalu berjalan di depan istrinya. Istrinya Nyai Ageng
Kaliwungu jauh di belakang. Di tengah perjalanan, tepatnya di selatan Semarang
Ki Ageng Padang Aran dicegat 2 orang perampok. Kedua perampok itu menyuruh
Padang Aran untuk menyerahkan hartanya. Namun Padang Aran tidak membawa apa-apa
dan menyuruh perampok-perampok itu jika ingin harta untuk mengambil tongkat
yang di bawa wanita dibelakang. Di dalamnya terdapat emas dan berlian tapi
jangan sekali-kali kalian mencelakainya karena dia istriku. Ambil saja
tongkatnya dan segeralah pergi.
Tak lama kemudian lewatlah Nyai Ageng
dengan membawa tongkat. Dan perampok-perampok itu langsung merebut tongkat
tersebut. Nyai Ageng menangis sambil berlari menyusul Ki Ageng Padang Aran.
Sedangkan istri yang satunya kembali pulang. Karena sifat perampok itu serakah
mereka merasa belum puas dengan hasil rampasannya. Perampok itu meminta bekal
yang di bawa Ki Ageng Padang Aran bahkan mengancam kalau tidak di beri akan
membunuhnya. Kemudian Ki Ageng Padang Aran berkata “Wong salah kok iseh tega
temen (Bahasa Indonesia: orang sudah salah kok masih tega). Kata-kata salah
tega itu kemudian sampai sekarang menjadi nama kota Salatiga.
Kemudian
Ki Ageng Padang Aran berujar “keterlaluan kau ini, tindakanmu mengendus seperti
domba saja”. Dan seketika itu kepala dari Sambang Dalan (nama seorang perampok)
berubah menjadi kepala domba. Mengetahui kepalanya berubah menjadi domba,
Sambang Dalan menangis dan menyesal atas perbuatannya. Dan berjanji akan
mengabdi pada Ki Ageng Padang Aran. Sejak saat itu Sambang Dalan di juluki Syeh
Domba.
Sedangkan perampok yang satunya lagi
rebah ketakutan (dalam bahasa jawa: ngewel) dan kepalanya berubah menjadi
kepala ular. Sejak saat itu dia di juluki Syeh Kewel. Kedua perampok tadi
menjadi santri setia Ki Ageng Padang Aran. Dan mengikuti Ki Ageng Padang Aran
untuk pergi ke Jabalkat
Hari demi hari berlalu, Ki Ageng
Padang Aran terus berjalan ke Selatan untuk menuju Ke Jabalkat. Mereka sudah
jauh meninggalkan kota Semarang, namun Ki Ageng Padang Aran tetap tegap
berjalan sedangkan Nyai Ageng sudah lelah dan di ikuti oleh muridnya. Pada
suatu hari Ki Ageng Padang Aran berjalan terus tanpa henti, tanpa menghiraukan
istrinya. Nyai Ageng tertinggal jauh di belakang. Lalu Nyai Ageng berkata “Ojo
lali ingsun, aku ojo ditinggal terus” (bahasa Indonesia: jangan lupa kamu, istrimu
jangan ditinggal terus). Sampai saat ini untuk mengingat hal itu tempat
tersebut diberi nama Boyolali.
Perjalan mereka telah sampai di
sebuah desa yang tidak jauh dari tujuannya. Rombongan Ki Ageng Padang Aran
melihat seorang perempuan tua yang membawa beras. Kemudian Ki Ageng Padang Aran
berkata “Tunggu sebentar Nyai, kami hanya ingin bertanya dimanakah Jabalkat
itu?”. Perempuan itu menjawab “Kurang lebih sepuluh kilometer lagi ke Timur”.
Kemudian Ki Ageng Padang Aran bertanya lagi “Apakah yang Nyai bawa itu?”.
Karena takut di rampok perempuan itu berbohong dan menjawab bahwa yang
dibawanya adalah wedi (bahasa Indonesia: pasir).
Setelah rombonga Ki Ageng Padang
Aran berlalu, perempuan tadi merasa beras yang di gendongnya semakin berat.
Ternyata setelah di lihat, beras yang dibawanya tadi berubah menjadi wedi
(pasir). Perempuan itu menyesal karena sudah berbohong. Dalam hatinya ia
bertanya siapakah rombongan tadi dan perempuan itu bertekat tidak akan
berbohong lagi. Kemudian desa tempat membuang wedi (pasir) tadi sampai sekarang
terkenal dengan nama Wedi, salah satu nama
kecamatan di wilayah Kabupaten Klaten.
Singakat cerita, pada suatu hari Ki
Ageng Padang Aran bermalam di salah satu rumah penduduk desa. Orang ini
berjualan srabi, namanya Bu Tasik. Disini Ki Ageng Padang Aran ikut berjualan
srabi dan mengaku bernama Slamet. Dengan kehadiran Slamet inilah srabi Bu Tasik
laris sekali. Sampai-sampai banyak orang rela berjam-jam antri untuk membeli
srabi buatan Bu Tasik.
Suatu hari Bu Tasik menyuruh Slamet
untuk mencari kayu bakar di hutan karena persediaan kayu bakar sudah habis.
Namun anehnya Slamet tidak mencari kayu bakar tetapi srabi tetap matang.
Ternyata tangan Slamet di masukkan ke dalam tungku untuk memasak srabi.
Alangkah terkejutnya Bu tasik mengetahui hal itu.
Dengan kejadian itu Bu Tasik takut
dan tahu bahwa Slamet bukanlah orang sembarangan. Dengan kejadian itu Ki Ageng
Padang Aran memberi tahu Bu Tasik siapa dirinya. Dan setelah itu Ki Ageng
Padang Aran melanjutkan perjalanan Ke Jabalkat. Beliau melanjutkan perjalanan
ke arah timur. Baru melangkah beberapa meter sudah terlihat dari kejauhan
Gunung Jabalkat.
Tibalah Ki Ageng Padang Aran di
sebuah desa. Di desa ini Ki Ageng Padang Aran merasa haus sekali. Ki Ageng
Padang Aran meminta ketimun pada seorang petani. Namun petani itu berkata bahwa
ketimunnya belum berbuah. Tetapi Ki Ageng tahu bahwa ketimunnya sudah berbuah
satu. Lalu Ki Ageng Padang Aran berkata “Iki wes jiwoh” (jiwoh=siji awoh). Maka
sampai sekarang desa itu terkenal dengan nama desa Jiwo, terletak di sebelah
barat Gunung Jabalkat.
Setelah Ki Ageng Padang Aran
meninggalkan desa Jiwo, baru beberapa meter berjalan sudah sampai di kaki Gunung
Jabalkat. Kemudian dengan segera Ki Ageng Padang Aran menaiki gunung tersebut.
Setelah sampai di puncak Gunung Jabalkat, Ki Ageng Padang Aran terdiam lama
menunggu Sunan Kalijaga. Kemudian Ki Ageng Padang Aran meminta petunjuk Allah
dan sesaat kemudian terlihat sosok tubuh yang tak lain adalah Sunan Kalijaga.
Mulai saat itu Ki Ageng Padang Aran
tinggal di Jabalkat dan merasa mendapat perintah untuk menyiarkan agam islam.
Lalu Ki Ageng mendirikan masjid di puncak Gunung Jabalkat. Dan setiap hari
Jumat Legi ada sarasehan. Dengan adanya pengajian ini, rakyat di sekitar
mengenalnya dengan sebutan Ki Ageng Padang Aran yang berarti orang yang memberi
pepadang atau penerangan. Dan tempat untuk berkumpul diberi nama Paseban.
Sampai sekarang nama Paseban menjadi nama dukuh atau desa.
Syeh Domba dan Syeh Kewel diberi
tugas oleh Ki Ageng Padang Aran untuk mengisi padasan (tempat wudhu) dengan
kranjang. Walau tugas itu berat namun tetap mereka jalani. Mereka harus naik
turun gunung untuk membawa air tesebut. Mereka tetap tabah dan tawakal. Hingga
pada suatu hari Sunan Kalijaga melihat keduanya, kemudian menanyakan kepada Ki
Ageng Padang Aran. “Kedua muridmu itu apakah memang domba dan ular?”. Sunan
Padang Aran menjawab sebenarnya juga manusia. Dan seketika itu kepala Syeh
Domba dan Syeh Kewel berubah lagi menjadi kepala manusia.
Syeh Domba dan Syeh Kewel semakin
mantap beguru kepada Sunan Padang Aran, hingga meninggalnya mereka. Syeh Domba
meninggal lebih dahulu. Ki Ageng Padang Aran memberi pusaka dan Syeh Domba
meninggal karena menabrak pusaka itu. Konon Syeh domba adalah patih Majapahit
karena patih Majapahit hanya bisa mati dengan pusaka itu. Syeh Domba di
makamkan di Gunung Cakaran. Sedangkan Syeh Kewel di makamkan di Sentana (di
desa Penengahan, sebelah tenggara desa Paseban).
C.
Sejarah Masjid Golo
Ki Ageng Padang Aran mendirikan
masjid di puncak Gunung Jabalkat. Pada zaman dahulu, sewaktu Ki Ageng Padang
Aran akan sholat Subuh, raja Demak (Raden Patah) merasa tergangggu dengan suara
azdan karena mengganggu tidurnya. Sehingga Raden Patah menyuruh prajuritnya
untuk memperingatkan adzan Ki Ageng Padang Aran terlalu malam dan menyuruh
untuk menurunkan masjid. Namun sebelum utusan dari demak itu sampai di
Jabalkat, Ki Ageng Padang Aran sudah mengetahuinya. Dalam semalam masjid itu
sudah berada di lereng gunung Jabalkat. Sehingga masjid ini disebut juga dengan
Masjid Tiban.
Sampai sekarang masjid itu diberi
nama masjid Golo, yang artinya Go=1 Lo=7 (angka jawa). Artinya 17 rekaat sholat
sehari semalam. Maksud Sunan Tembayat yaitu agar manusia melaksankan sholat
sehari semalam berjumlah 17 rakaat. Yaitu Isak 4 rakaat, Shubuh 2 rakaat,
Dhuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat, dan Magrib 3 rakaat. Alasan lain penyebab di
turunkannya masjid Golo adalah agar masyarakat lebih mudah jika ingin ke masjid
untuk melaksanakan sholat.
Luas masjid Golo adalah 12x12 m.
masjid Golo termasuk masjid purbakala dan berdirinya tahun berapa tidak
diketahui. Secara fisik arsitektur masjid Golo bercorak Hindu. Terlihat dari
pintu masuk masjid. Masjid Golo terdiri
dari empat pilar utama yang berupa stupa (Budha). Tempat imam pun berbeda
dengan masjid kebanyakan. Tempat imam diberi pintu dan karpet yang digunakan
imam, yang terletak paling depan adalah kloso (tikar) (artinya kloso = ngen
nelongso).
Di
sebelah utara masjid terdapat sebuah pintu yang namanya adalah pintu Rosul. Di
pintu itu yang boleh lewat adalah Rosul. Namun bukan berarti harus Rosul tetapi
Habib juga boleh lewat. Di dalam masjid terdapat 2 khutbah dan ada payung juga.
Alasannya karena sharo’ (perintah ghaib). Di depan masjid terdapat sebuah
gentong. Gentong itulah yang dulu diisi oleh Syeh Domba dan Syeh Kewel.
Sampai
sekarang masjid Golo ini masih berdiri kokoh. Yang letaknya sebelum kita
memasuki kompleks makam Sunan Padang Aran. Dari jalan masjid Golo ini sudah
kelihatan. Jika kita berziarah kesana kurang lengkap jika tidak ke masjid Golo
ini.
Jika kita berziarah ke makam Sunan
Padang Aran kurang lengkap kalau tidak membawa pulang oleh-oleh. Oleh-oleh
berupa kerajinan maupun makanan dari orang-orang desa. Kerajinan dan makanan
ini mempunyai sejarah. Misalnya kendi, maksud dari kendi ini adalah jika kita
setelah berziarah pulang dengan membawa air suci dari Sunan Padang Aran. Karena
kendi ini terbuat dari tanah liat dan mudah pecah, maka sebagai lambang kendi
ini dibuat untuk kenang-kenangan.
Di masa Sunan Padang Aran Bayat
bersama santri-santrinya di masjid Golo ada santri namanya Syeh Bela-belu. Syeh
Bela-belu ini selalu berdoa agar keinginannya di kabulkan dengan cara beliau
tidak pernah tidur. Jika mengantuk ia makan dan makanan yang di makannya adalah
intip (kerak nasi). Dengan hal ini maka intip (kerak nasi ) sangat terkenal di
daerah sekitar makam.
Setelah berziarah kita wajib
menyebarluaskan ajaran dan petuah Sunan Padang Aran. Maka tak heran jika banyak
peziarah yang pulang dengan membawa kenang-kenangan kipas. Kipas itu merupakan
simbol dari perlambang penyebarluasan ajaran Sunan Padang Aran kepada
saudara-saudara kita.
Gunung Cokro Kembang tempat makam
Sunan Padang Arang di semayamkan
terletak di sebelah timur Gunung Jabalkat. Banyak bangunan yang merupakan
petilasan atau peninggalan beliau. Peninggalan-peninggalan itu antara lain :
1.
Gapura Segara Muncar
Gapura Segara Muncar merupakan
gapura pertama yang menjadi pintu masuk halaman atau komplek makam Sunan Padang
Aran.
2.
Gapura Dhuha
Gapura Dhuha ini adalah gapura
yang di lewati ketika para peziarah menaiki tangga menuju makam Sunan Padang
Aran. ± 250 anak tangga yang harus kita naiki untuk sampai di gerbang masuk
bangsal peristirahatan.
3.
Gapura Pangrantungan
Di dalam kompleks makam ini
terdapat halaman yang memiliki 2 bangsal yaitu bangsal Nglebet, sebagai tempat
peristirahatan dan untuk menerima tamu wanita. Yang satunya bangsal Jawi yaitu
sebagai tempat peristirahatan dan untuk menerima tamu pria. Dan diantara tempat
itu terdapat tempat untuk menerima tamu yang berziarah di makam Sunan Padang
Aran.
Jika kita memasuki kompleks makam maka kita akan melihat sebuah masjid.
Gapura Pangrantungan terdapat di sebelah masjid ini. Setelah melewati Gapura
Pangrantungan maka kita akan memasuki gerbang masuk kompleks makam para sahabat
Sunan Padang Aran

Gb. Gapura Pangrantungan

Gb. Gapura masuk
kompleks makam sahabat
4.
Gapura Panemut
Gapura ini tertera tulisan atau prasasti yang
bunyinya “Wisaya Hanata Wisking Ratu”. Sangkala itu menunjukkan tahun
pembuatan, artinya Wisaya = 5, Hanata = 5, Wisik = 5, Ratu = 1. Ini berarti
gapura ini didirikan tahun 1555 Saka.
5.
Gapura Pamuncar
6.
Gapura Balekencur
7.
Gapura Prabayeksa
Gapura ini merupakan gapura terakhir sebelum ke
makam Sunan Padang Aran. Di dalam kompleks ini terdapat gentong. Gentong ini bernama
Gentong Sinaga yang dulu gentong inilah yang di isi oleh murid Sunan Padang
Aran. Air di Gentong Sinaga ini dulu digunakan oleh Sunan Padang Aran dan para
sahabatnya untuk wudhu.
8.
Regol Sinaga
Setelah melewati Regol Sinaga inilah kita sudah
berada di makam Sunan Padang Aran. Makam beliau terketak diantara makam istri
dan kerabatnya. Menurut cerita makam-makm itu ialah makam Nyi Ageng Madalem,
Pgn. Winang, Kali Datuk, Kyai Sabuk Janur, Kyai Banyubiru, Kyai Mlanggati, Kyai
Panembahan Sumingit Wetan, Kyai Panembahan Masjid Wetan dan panembahan Kabul. Makam
Sunan Padang Aran tertutup oleh bilik
sehingga kita hanya bias melihat bilik tersebut.
DOKUMENTASI



Gb. Bedug di dalam Masjid Golo

Gb. Pintu Rosul


Gb. Gentong di depan Masjid Golo

Gb. Stupa pilar Masjid Golo
BAB III
KESIMPULAN
Sunan Padang Aran adalah salah satu murid dari Sunan
Kalijaga. Yang dulunya beliau belum masuk islam dan menjadi Adipati di
Semarang. Namun sifat beliau sangat tamak dan kikir. Beliau menjadi murid Sunan
Kalijaga dan pergi ke Jabalkat untuk menemui Sunan Kalijaga. Dalam
perjalanannya beliau memberi nama seperti Boyolali, Wedi, dan Jiwo. Beliau
mendirikan Masjid di puncak Gunung Jabalkat. Namun kemudian masjid itu di
turunkan ke lereng gunung agar penduduk lebih mudah jika akan mengerjakan
sholat.
Dari sejarah di atas, kita dapat mengambil beberapa
hikmah. Yaitu kita sebagai manusia tidak boleh sombong, tamak dan kikir. Kita
harus mengahargai sesama manusia, tidak boleh menilai sesorang dari derajat
atau hartanya. Kita juga tidak boleh berbohong karena yang akan rugi adalah
kita sendiri.
REFERENSI
Bapak Saryono juru
kunci makam Sunan Padang Aran.
Bapak Hasan
koordinator Trah Brawijaya V dan sebagai pengurus Masjid Golo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar