Rabu, 06 November 2013

sejarah makam sunan pandanaran bayat



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Banyak makam-makam Sunan di Indonesia ini yang sering di kunjungi (ziarah). Kita sering mengenal Sunan Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Drajat.  Yang terkenal dengan sebutan Wali Songo. Makalah ini akan menceritakan sedikit tentang sejarah salah satu makam di Bayat yaitu Sunan Padang Aran. Makam Sunan Padang Aran di Bayat merupakan salah satu makam yang saat ini masih banyak masyarakat baik dalam maupun luar Bayat yang berziarah kesana. Walaupun beliau tidak termasuk dalam Wali Songo namun beliau merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga.

B.     Rumusan Masalah
            Pada kesempatan ini akan membahas sejarah perjalan Sunan Padang Aran dari Semarang sampai di Bayat. Sejarah beliau masuk islam. Dan masjid peninggalan beliau.
           
C.    Tujuan
Lebih meningkatkan pengetahuan tentang sejarah perjalan Sunan Padang Aran. Mengetahui sejarah beliau masuk islam. Dan mengetahui peninggalan-peninggalan beliau salah satunya masjid.

 




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Sunan Padang Aran
Banyak cerita tentang kisah asal usul Sunan Padang Aran. Salah satunya di ceritakan bahwa pada pemerintahan Prabu Brawijaya raja Majapahit yang ke V merupakan zaman peralihan. Pada masa itu Majapahit terdesak oleh pasukan islam. Prabu Brawijaya memilih pergi dari istana. Pada waktu itu Prabu Brawijaya masih menganut agama Hindu. Dalam perjalanannya sampailah beliau di desa Sawer dan bertemu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga menyarankan agar beliau pergi ke daerah Semarang dan menjadi Bupati Semarang. Di Semarang inilah beliau di didik oleh Sunan Kalijaga dan diberi sebutan Ki Ageng Padang Aran.
Karena merasa tugasnya mengajar Ki Ageng Padang Aran sudah selesai maka Sunan Kalijaga meninggalkan Semarang untuk melanjutkan penyebaran agama islam di tempat lain. Setalah beberapa kurun waktu Ki Ageng Padang Aran mencari Sunan Kalijaga ke Jabalkat. Setelah pertemuan itu beliau diberi nama Sunan Padang Aran Bayat.
Dalam kisah lain di ceritakan bahwa beliau adalah Adipati di Semarang. Beliau adalah Adipati yang ke-2. Beliau adalah Adipati yang kaya raya serta hidupnya sangat makmur. Istananya sangat megah namun sayangnya beliau kikir. Beliau mempunyai dua orang istri yaitu Nyai Ageng Kaliwungu dari Kaliwungu Semarang dan Nyai Ageng Krakitan dari Bojonegoro, Jawa Timur. Kedua istri beliau inilah yang selalu menemani beliau kemanapun beliau pergi. Maka tak heran jika beliau makin congkak dan sombong.
Pada suatu hari saat Bupati sedang duduk asik dengan istri-istrinya, datanglah seorang tukang rumput yang akan menjual rumputnya. Lalu tukang rumput itu menawarkan rumputnya kepada sang Bupati. Kemudian sang Bupati mau membeli rumput tersebut. Harga sudah di sepakati 2 keping, lalu rumput di bawa masuk sampai di kandang kuda. Alangkah terkejutnya Bupati ternyata di dalam keranjang rumput tersebut terdapat bongkahan emas yang cukup besar.
Bupati berkata dalam hati “Bapak tukang rumput itu pasti tidak tahu kalau ada bongkahan emas di dalam keranjang rumputnya tadi”. Kemudian Bupati keluar dengan membawa uang 1 keping, lalu di berikan kepada tukang rumput. Bupati berkata “Ini pak uangmu ku bayar 1 keping karena rumputnya kurang bagus” dan melemparkan uang kepada tukang rumput. Besok bawa rumput yang bagus ya, kata Bupati.
Kemudian tukang rumput itu pergi. Bupati itu selalu teringat dengan bongkahan emasnya yang ada dalam rumput tadi. Pada keesokan harinya tukang rumput itupun datang lagi. Dan memberikan rumput kepada Bupati. Setelah dilihat ternyata rumputnya bagus. Bupati ini bertanya “Rumput dari mana Pak?’; “Dari Jabalkat” jawab tukang rumput. Kemudian rumput itu di bawa masuk, sampai di dalam rumput dilihat dan alangkah terkejutnya Bupati itu. Ternyata ada bongkahan emas yang lebih besar dari kemarin. Bupati ini sangat gembira dan berkata “aku akan lebih kaya lagi”.
Begitulah setiap hari, singkat cerita beberapa hari tukang rumput itu tidak pernah datang lagi. Padahal Bupati ini sangat mengharapkan kedatangannya. Pada suatu hari Bupati ini punya hajatan. Dalam acara hajatan tersebut yang di undang hanya orang-orang kaya saja. Hajatan ini meriah sekali. pada waktu penyambutan dimulai, Bupati terkejut melihat tukang rumput ada di tengah-tengah para tamu. Tukang rumput itu memakai pakain serba hitam dan kelihatan jelek. Masuknya tukang rumput itu tidak ada yang tahu.
Bupati itu marah dan kemudian tukang rumput itu disuruh keluar dan ditempatkan di emperan kandang kuda. Tukang rumput itu berkata dalam hati, sangat membedakan sekali Bupati ini. Padahal saya sudah masuk malah di suruh keluar dan ditempatkan yang tidak senonoh seperti ini hingga hajatan selesai.
Pada keesokan harinya, tukang rumput itu datang untuk mengambil topi yang sengaja di taruh di kandang kuda kemarin. Bupati melihatnya dan bertanya “Mana Pak rumputnya?”. “Habis kanjeng” jawab tukang rumput. Bupati marah-marah. Bupati berkata “Kalau aku kalah kaya dengan kamu, aku akan menurut perintahmu dan akan meninggalkan hartaku. Ternyata kata-kata itu yang ditunggu Sunan Kalijaga. Kemudian pada saat itu tukang rumput meminjam cangkul, kemudian mengayunkannya 3x dan kemudian tanah yang di cangkulnya berubah jadi emas yang berkilauan. Tukang rumput berkata “Ambillah emas ini kalau kamu mau”.
Dengan perasaan takut dan heran Bupati ini terdiam sejenak, dalam benaknya ia berkata orang ini pasti bukan ornga sembarangan. Bupati bertanya “Siapakah Bapak ini sebenarnya?”, “Aku Sunan Kalijaga” sahut tukang rumput tadi. Segera Bupati itu minta maaf kepada Sunan Kalijaga atas kelancangannya dan bersimpuh di bawah kaki Sunan Kalijaga. Kemudian berkata “Sunan, bolehkah aku mengabdi padamu?”. Sunan Kalijaga membolehkannya namun dengan syarat yaitu
1.      Segeralah bertaubat dan meninggalkan keserakahan.
2.      Harus mendirikan masjid yang selalu diiringi bedhug yang berbunyi setiap waktu sholat tiba.
3.      Harus membagikan hartamu kepada sesama umat lebih-lebih yang kekurangan dan fakir miskin.
4.      Menghidupkan lampu di rumah Sunan Kalijaga.
Setelah semuanya kau lakukan dan berniat sungguh-sungguh untuk berubah, maka segeralah mencari aku di Jabalkat. “Dimana tempat itu Sunan?” tanya Bupati itu. Sunan Kalijaga menjawabnya di daerah Tembayat, adapun nama saya Syeh Malaya.
            Setelah kejadian itu, Sunan Kalijaga menghilang entah kemana. Padang Aran pun menyesal karena yang di hinanya ternyata adalah seorang Sunan. Kemudian Padang Aran menceritakan apa yang dialaminya kepada kedua istrinya dan mengutarakan maksudnya untuk mengikuti Sunan Kalijaga di Jabalkat. Padang Aran berpesan kepada kedua istrinya jika mereka ingin ikut tidak usah membawa apa-apa karena harta sudah tidak ada artinya.

B.     Perjalanan Ke Jabalkat
            Singkat cerita Ki Ageng Padang Aran akan pergi ke Jabalkat untuk mencari Sunan Kalijaga. Beliau berpamitan pada kedua istrinya. Baru melangkah beberapa meter, Ki Ageng Padang Aran menoleh kebelakang. Dan ternyata kedua istrinya sudah mengikutinya dengan membawa tongkat. Tongkat itu diisi dengan emas dan berlian. Ki Ageng sudah tahu kalau istrinya membawa harta, namun Ki Ageng tidak menegurnya.
            Dalam perjalanan ke Jabalkat Ki Ageng Padang Aran selalu berjalan di depan istrinya. Istrinya Nyai Ageng Kaliwungu jauh di belakang. Di tengah perjalanan, tepatnya di selatan Semarang Ki Ageng Padang Aran dicegat 2 orang perampok. Kedua perampok itu menyuruh Padang Aran untuk menyerahkan hartanya. Namun Padang Aran tidak membawa apa-apa dan menyuruh perampok-perampok itu jika ingin harta untuk mengambil tongkat yang di bawa wanita dibelakang. Di dalamnya terdapat emas dan berlian tapi jangan sekali-kali kalian mencelakainya karena dia istriku. Ambil saja tongkatnya dan segeralah pergi.
            Tak lama kemudian lewatlah Nyai Ageng dengan membawa tongkat. Dan perampok-perampok itu langsung merebut tongkat tersebut. Nyai Ageng menangis sambil berlari menyusul Ki Ageng Padang Aran. Sedangkan istri yang satunya kembali pulang. Karena sifat perampok itu serakah mereka merasa belum puas dengan hasil rampasannya. Perampok itu meminta bekal yang di bawa Ki Ageng Padang Aran bahkan mengancam kalau tidak di beri akan membunuhnya. Kemudian Ki Ageng Padang Aran berkata “Wong salah kok iseh tega temen (Bahasa Indonesia: orang sudah salah kok masih tega). Kata-kata salah tega itu kemudian sampai sekarang menjadi nama kota Salatiga.
Kemudian Ki Ageng Padang Aran berujar “keterlaluan kau ini, tindakanmu mengendus seperti domba saja”. Dan seketika itu kepala dari Sambang Dalan (nama seorang perampok) berubah menjadi kepala domba. Mengetahui kepalanya berubah menjadi domba, Sambang Dalan menangis dan menyesal atas perbuatannya. Dan berjanji akan mengabdi pada Ki Ageng Padang Aran. Sejak saat itu Sambang Dalan di juluki Syeh Domba.
            Sedangkan perampok yang satunya lagi rebah ketakutan (dalam bahasa jawa: ngewel) dan kepalanya berubah menjadi kepala ular. Sejak saat itu dia di juluki Syeh Kewel. Kedua perampok tadi menjadi santri setia Ki Ageng Padang Aran. Dan mengikuti Ki Ageng Padang Aran untuk pergi ke Jabalkat
            Hari demi hari berlalu, Ki Ageng Padang Aran terus berjalan ke Selatan untuk menuju Ke Jabalkat. Mereka sudah jauh meninggalkan kota Semarang, namun Ki Ageng Padang Aran tetap tegap berjalan sedangkan Nyai Ageng sudah lelah dan di ikuti oleh muridnya. Pada suatu hari Ki Ageng Padang Aran berjalan terus tanpa henti, tanpa menghiraukan istrinya. Nyai Ageng tertinggal jauh di belakang. Lalu Nyai Ageng berkata “Ojo lali ingsun, aku ojo ditinggal terus” (bahasa Indonesia: jangan lupa kamu, istrimu jangan ditinggal terus). Sampai saat ini untuk mengingat hal itu tempat tersebut diberi nama Boyolali.
            Perjalan mereka telah sampai di sebuah desa yang tidak jauh dari tujuannya. Rombongan Ki Ageng Padang Aran melihat seorang perempuan tua yang membawa beras. Kemudian Ki Ageng Padang Aran berkata “Tunggu sebentar Nyai, kami hanya ingin bertanya dimanakah Jabalkat itu?”. Perempuan itu menjawab “Kurang lebih sepuluh kilometer lagi ke Timur”. Kemudian Ki Ageng Padang Aran bertanya lagi “Apakah yang Nyai bawa itu?”. Karena takut di rampok perempuan itu berbohong dan menjawab bahwa yang dibawanya adalah wedi (bahasa Indonesia: pasir).
            Setelah rombonga Ki Ageng Padang Aran berlalu, perempuan tadi merasa beras yang di gendongnya semakin berat. Ternyata setelah di lihat, beras yang dibawanya tadi berubah menjadi wedi (pasir). Perempuan itu menyesal karena sudah berbohong. Dalam hatinya ia bertanya siapakah rombongan tadi dan perempuan itu bertekat tidak akan berbohong lagi. Kemudian desa tempat membuang wedi (pasir) tadi sampai sekarang terkenal dengan nama Wedi, salah satu nama  kecamatan di wilayah Kabupaten Klaten.
            Singakat cerita, pada suatu hari Ki Ageng Padang Aran bermalam di salah satu rumah penduduk desa. Orang ini berjualan srabi, namanya Bu Tasik. Disini Ki Ageng Padang Aran ikut berjualan srabi dan mengaku bernama Slamet. Dengan kehadiran Slamet inilah srabi Bu Tasik laris sekali. Sampai-sampai banyak orang rela berjam-jam antri untuk membeli srabi buatan Bu Tasik.
            Suatu hari Bu Tasik menyuruh Slamet untuk mencari kayu bakar di hutan karena persediaan kayu bakar sudah habis. Namun anehnya Slamet tidak mencari kayu bakar tetapi srabi tetap matang. Ternyata tangan Slamet di masukkan ke dalam tungku untuk memasak srabi. Alangkah terkejutnya Bu tasik mengetahui hal itu.
            Dengan kejadian itu Bu Tasik takut dan tahu bahwa Slamet bukanlah orang sembarangan. Dengan kejadian itu Ki Ageng Padang Aran memberi tahu Bu Tasik siapa dirinya. Dan setelah itu Ki Ageng Padang Aran melanjutkan perjalanan Ke Jabalkat. Beliau melanjutkan perjalanan ke arah timur. Baru melangkah beberapa meter sudah terlihat dari kejauhan Gunung Jabalkat.
            Tibalah Ki Ageng Padang Aran di sebuah desa. Di desa ini Ki Ageng Padang Aran merasa haus sekali. Ki Ageng Padang Aran meminta ketimun pada seorang petani. Namun petani itu berkata bahwa ketimunnya belum berbuah. Tetapi Ki Ageng tahu bahwa ketimunnya sudah berbuah satu. Lalu Ki Ageng Padang Aran berkata “Iki wes jiwoh” (jiwoh=siji awoh). Maka sampai sekarang desa itu terkenal dengan nama desa Jiwo, terletak di sebelah barat Gunung Jabalkat.
            Setelah Ki Ageng Padang Aran meninggalkan desa Jiwo, baru beberapa meter berjalan sudah sampai di kaki Gunung Jabalkat. Kemudian dengan segera Ki Ageng Padang Aran menaiki gunung tersebut. Setelah sampai di puncak Gunung Jabalkat, Ki Ageng Padang Aran terdiam lama menunggu Sunan Kalijaga. Kemudian Ki Ageng Padang Aran meminta petunjuk Allah dan sesaat kemudian terlihat sosok tubuh yang tak lain adalah Sunan Kalijaga.
            Mulai saat itu Ki Ageng Padang Aran tinggal di Jabalkat dan merasa mendapat perintah untuk menyiarkan agam islam. Lalu Ki Ageng mendirikan masjid di puncak Gunung Jabalkat. Dan setiap hari Jumat Legi ada sarasehan. Dengan adanya pengajian ini, rakyat di sekitar mengenalnya dengan sebutan Ki Ageng Padang Aran yang berarti orang yang memberi pepadang atau penerangan. Dan tempat untuk berkumpul diberi nama Paseban. Sampai sekarang nama Paseban menjadi nama dukuh atau desa.
            Syeh Domba dan Syeh Kewel diberi tugas oleh Ki Ageng Padang Aran untuk mengisi padasan (tempat wudhu) dengan kranjang. Walau tugas itu berat namun tetap mereka jalani. Mereka harus naik turun gunung untuk membawa air tesebut. Mereka tetap tabah dan tawakal. Hingga pada suatu hari Sunan Kalijaga melihat keduanya, kemudian menanyakan kepada Ki Ageng Padang Aran. “Kedua muridmu itu apakah memang domba dan ular?”. Sunan Padang Aran menjawab sebenarnya juga manusia. Dan seketika itu kepala Syeh Domba dan Syeh Kewel berubah lagi menjadi kepala manusia.
            Syeh Domba dan Syeh Kewel semakin mantap beguru kepada Sunan Padang Aran, hingga meninggalnya mereka. Syeh Domba meninggal lebih dahulu. Ki Ageng Padang Aran memberi pusaka dan Syeh Domba meninggal karena menabrak pusaka itu. Konon Syeh domba adalah patih Majapahit karena patih Majapahit hanya bisa mati dengan pusaka itu. Syeh Domba di makamkan di Gunung Cakaran. Sedangkan Syeh Kewel di makamkan di Sentana (di desa Penengahan, sebelah tenggara desa Paseban).

C.    Sejarah Masjid Golo
            Ki Ageng Padang Aran mendirikan masjid di puncak Gunung Jabalkat. Pada zaman dahulu, sewaktu Ki Ageng Padang Aran akan sholat Subuh, raja Demak (Raden Patah) merasa tergangggu dengan suara azdan karena mengganggu tidurnya. Sehingga Raden Patah menyuruh prajuritnya untuk memperingatkan adzan Ki Ageng Padang Aran terlalu malam dan menyuruh untuk menurunkan masjid. Namun sebelum utusan dari demak itu sampai di Jabalkat, Ki Ageng Padang Aran sudah mengetahuinya. Dalam semalam masjid itu sudah berada di lereng gunung Jabalkat. Sehingga masjid ini disebut juga dengan Masjid Tiban.
            Sampai sekarang masjid itu diberi nama masjid Golo, yang artinya Go=1 Lo=7 (angka jawa). Artinya 17 rekaat sholat sehari semalam. Maksud Sunan Tembayat yaitu agar manusia melaksankan sholat sehari semalam berjumlah 17 rakaat. Yaitu Isak 4 rakaat, Shubuh 2 rakaat, Dhuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat, dan Magrib 3 rakaat. Alasan lain penyebab di turunkannya masjid Golo adalah agar masyarakat lebih mudah jika ingin ke masjid untuk melaksanakan sholat.
            Luas masjid Golo adalah 12x12 m. masjid Golo termasuk masjid purbakala dan berdirinya tahun berapa tidak diketahui. Secara fisik arsitektur masjid Golo bercorak Hindu. Terlihat dari pintu masuk masjid.  Masjid Golo terdiri dari empat pilar utama yang berupa stupa (Budha). Tempat imam pun berbeda dengan masjid kebanyakan. Tempat imam diberi pintu dan karpet yang digunakan imam, yang terletak paling depan adalah kloso (tikar) (artinya kloso = ngen nelongso).
Di sebelah utara masjid terdapat sebuah pintu yang namanya adalah pintu Rosul. Di pintu itu yang boleh lewat adalah Rosul. Namun bukan berarti harus Rosul tetapi Habib juga boleh lewat. Di dalam masjid terdapat 2 khutbah dan ada payung juga. Alasannya karena sharo’ (perintah ghaib). Di depan masjid terdapat sebuah gentong. Gentong itulah yang dulu diisi oleh Syeh Domba dan Syeh Kewel.
Sampai sekarang masjid Golo ini masih berdiri kokoh. Yang letaknya sebelum kita memasuki kompleks makam Sunan Padang Aran. Dari jalan masjid Golo ini sudah kelihatan. Jika kita berziarah kesana kurang lengkap jika tidak ke masjid Golo ini.
            Jika kita berziarah ke makam Sunan Padang Aran kurang lengkap kalau tidak membawa pulang oleh-oleh. Oleh-oleh berupa kerajinan maupun makanan dari orang-orang desa. Kerajinan dan makanan ini mempunyai sejarah. Misalnya kendi, maksud dari kendi ini adalah jika kita setelah berziarah pulang dengan membawa air suci dari Sunan Padang Aran. Karena kendi ini terbuat dari tanah liat dan mudah pecah, maka sebagai lambang kendi ini dibuat untuk kenang-kenangan.
            Di masa Sunan Padang Aran Bayat bersama santri-santrinya di masjid Golo ada santri namanya Syeh Bela-belu. Syeh Bela-belu ini selalu berdoa agar keinginannya di kabulkan dengan cara beliau tidak pernah tidur. Jika mengantuk ia makan dan makanan yang di makannya adalah intip (kerak nasi). Dengan hal ini maka intip (kerak nasi ) sangat terkenal di daerah sekitar makam.
            Setelah berziarah kita wajib menyebarluaskan ajaran dan petuah Sunan Padang Aran. Maka tak heran jika banyak peziarah yang pulang dengan membawa kenang-kenangan kipas. Kipas itu merupakan simbol dari perlambang penyebarluasan ajaran Sunan Padang Aran kepada saudara-saudara kita.
            Gunung Cokro Kembang tempat makam Sunan  Padang Arang di semayamkan terletak di sebelah timur Gunung Jabalkat. Banyak bangunan yang merupakan petilasan atau peninggalan beliau. Peninggalan-peninggalan itu antara lain :
1.      Gapura Segara Muncar
Gapura Segara Muncar merupakan gapura pertama yang menjadi pintu masuk halaman atau komplek makam Sunan Padang Aran.
2.      Gapura Dhuha
Gapura Dhuha ini adalah gapura yang di lewati ketika para peziarah menaiki tangga menuju makam Sunan Padang Aran. ± 250 anak tangga yang harus kita naiki untuk sampai di gerbang masuk bangsal peristirahatan.
3.      Gapura Pangrantungan
Di dalam kompleks makam ini terdapat halaman yang memiliki 2 bangsal yaitu bangsal Nglebet, sebagai tempat peristirahatan dan untuk menerima tamu wanita. Yang satunya bangsal Jawi yaitu sebagai tempat peristirahatan dan untuk menerima tamu pria. Dan diantara tempat itu terdapat tempat untuk menerima tamu yang berziarah di makam Sunan Padang Aran.
Jika kita memasuki kompleks makam maka kita akan melihat sebuah masjid. Gapura Pangrantungan terdapat di sebelah masjid ini. Setelah melewati Gapura Pangrantungan maka kita akan memasuki gerbang masuk kompleks makam para sahabat Sunan Padang Aran

Gb. Gapura Pangrantungan
Gb. Gapura masuk kompleks makam sahabat
4.      Gapura Panemut
Gapura ini tertera tulisan atau prasasti yang bunyinya “Wisaya Hanata Wisking Ratu”. Sangkala itu menunjukkan tahun pembuatan, artinya Wisaya = 5, Hanata = 5, Wisik = 5, Ratu = 1. Ini berarti gapura ini didirikan tahun 1555 Saka.
5.      Gapura Pamuncar
6.      Gapura Balekencur
7.      Gapura Prabayeksa
Gapura ini merupakan gapura terakhir sebelum ke makam Sunan Padang Aran. Di dalam kompleks ini terdapat gentong. Gentong ini bernama Gentong Sinaga yang dulu gentong inilah yang di isi oleh murid Sunan Padang Aran. Air di Gentong Sinaga ini dulu digunakan oleh Sunan Padang Aran dan para sahabatnya untuk wudhu.
8.      Regol Sinaga
Setelah melewati Regol Sinaga inilah kita sudah berada di makam Sunan Padang Aran. Makam beliau terketak diantara makam istri dan kerabatnya. Menurut cerita makam-makm itu ialah makam Nyi Ageng Madalem, Pgn. Winang, Kali Datuk, Kyai Sabuk Janur, Kyai Banyubiru, Kyai Mlanggati, Kyai Panembahan Sumingit Wetan, Kyai Panembahan Masjid Wetan dan panembahan Kabul. Makam Sunan Padang Aran tertutup oleh  bilik sehingga kita hanya bias melihat bilik tersebut.



DOKUMENTASI
Gb. Masjid Golo
Gb. Pintu masuk masjid


Gb. Bedug di dalam Masjid Golo
Gb. Pintu Rosul
Gb. Gentong di depan Masjid Golo
Gb. Stupa pilar Masjid Golo

BAB III
KESIMPULAN

Sunan Padang Aran adalah salah satu murid dari Sunan Kalijaga. Yang dulunya beliau belum masuk islam dan menjadi Adipati di Semarang. Namun sifat beliau sangat tamak dan kikir. Beliau menjadi murid Sunan Kalijaga dan pergi ke Jabalkat untuk menemui Sunan Kalijaga. Dalam perjalanannya beliau memberi nama seperti Boyolali, Wedi, dan Jiwo. Beliau mendirikan Masjid di puncak Gunung Jabalkat. Namun kemudian masjid itu di turunkan ke lereng gunung agar penduduk lebih mudah jika akan mengerjakan sholat.
Dari sejarah di atas, kita dapat mengambil beberapa hikmah. Yaitu kita sebagai manusia tidak boleh sombong, tamak dan kikir. Kita harus mengahargai sesama manusia, tidak boleh menilai sesorang dari derajat atau hartanya. Kita juga tidak boleh berbohong karena yang akan rugi adalah kita sendiri.
           
REFERENSI
Bapak Saryono juru kunci makam Sunan Padang Aran.
Bapak Hasan koordinator Trah Brawijaya V dan sebagai pengurus Masjid Golo.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar